Makna jin dari segi bahasa

Dari segi bahasa Alquran, kata jin terambil dari akar kata yang terdiri dari tiga huruf: jim, nun, nun. Menurut pakar-pakar bahasa, semua kata yang terdiri dari rangkaian ketiga huruf ini mengandung makna ketersembunyian atau ketertutupan. Kata janna dalam Alquran surah Al-An’am ayat 76 berarti menutup. Kebun yang lebat pepohonannya sehingga menutup pandangan dinamai jannah. Surga juga dinamai jannah karena hingga kini ia masih tersembunyi, tidak terlihat oleh mata. Manusia yang tertutup akalnya (gila) dinamai majnuun, sedangkan bayi yang masih dalam perut ibu karena ketertutupannya oleh perut dinamai janin. Al-junnah adalah perisai karena dia menutupi seseorang dari gangguan orang lain, baik fisik maupun nonfisik.

Orang-orang munafik menjadikan sumpah mereka sebagai junnah demikian Alquran surah Al-Munafiqun ayat 3, yakni menjadikannya sebagai penutup kesalahan agar mereka terhindar dari kecaman atau sanksi. Kalbu manusia dinamai janaan karena ia dan isi hati tertutup dari pandangan dan pengetahuan. Karena itu pula roh dinamai janaan. Kubur, orang mati, kafan semuanya dapat dilukiskan dengan kata janaan karena ketertutupan dan ketersembunyian yang selalu berkaitan dengannya.

Kata jin pun demikian, ia tersembunyi dan tertutup. Demikian tinjauan kebahasaan. Tetapi, apa makna ketertutupan dan ketersembunyiannya, serta sampai di mana batasnya? Inilah yang menjadi bahasan para pakar dan masyarakat sejak dahulu, bahkan hingga kini.

Jin adalah nama jenis, bentuk tunggalnya adalah Jiniy ( dalam bahasa arab dahulu kala, dan Genie dalam bahasa Inggeris ) yang ertinya “yang tersembunyi” atau “yang tertutup” atau “yang tak terlihat”. Hal itulah yang memungkinkan kita mengaitkannya dengan sifat yang umum “alam tersembunyi”, sekalipun akidah Islam memaksudkannya dengan makhluk-makhluk berakal, berkehendak, sedar dan punya kewajipan, berjasad halus and hidup bersama-sama kita di bumi ini. Dalam sebuah hadith dari Abu Tha’labah yang bermaksud : “Jin itu ada tiga jenis iaitu : Jenis yang mempunyai sayap dan terbang di udara, Jenis ular dan jengking dan Jenis yang menetap dan berpindah-pindah.”

Apakah jin itu?

Berbeda dengan kaum materialis yang berwawasan sempit, umat Islam, bahkan mayoritas umat beragama di dunia ini mengakui adanya sesuatu yang dinamakan jin.
Pendapat Pakar Islam Rasionalis

Meskipun mayoritas umat mengakui adanya jin, pemahaman mereka tentang makhluk yang tersembunyi ini berbeda-beda. Bahkan, para pakar Islam pun terdapat beberapa pendapat tentang makhluk jin. Pakar-pakar Islam yang sangat rasional tidak mengingkari ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang jin, tetapi mereka memahaminya bukan dalam pengertian hakiki. Paling tidak ada tiga pendapat yang menonjol dari kalangan rasionalis Islam menyangkut makhluk jin.

1. Mereka memahami jin sebagai potensi negatif manusia. Menurut penganut paham ini, malaikat adalah potensi positif yang mengarahkan manusia ke arah kebaikan.

Pandangan ini menjadikan jin sepenuhnya sama dengan setan. Di sisi lain mereka menilainya tidak memiliki wujud tersendiri karena jin atau setan menurut paham ini merupakan potensi negatif yang berada di dalam diri manusia.

2. Mereka memahami antara lain sebagai virus dan kuman-kuman penyakit. Paham ini mengakui eksistensi jin tetapi menyatakannya sebagai kuman-kuman. Maka, mereka menilainya bukan makhluk berakal, apalagi makhluk mukalaf, yang dibebani tugas-tugas tertentu oleh Allah SWT.

3. Mereka yang memahami jin sebagai jenis dari makhluk manusia liar yang belum berperadaban. Pendapat ini dikemukakan kali pertama oleh salah seorang pemikir India kenamaan yang bernama Ahmad Khan (1817–1898 M), yang menulis buku tentang jin dalam pandangan Alquran. Menurutnya, ayat-ayat yang menunjukkan tentang jin tidak dapat dijadikan bukti tentang adanya makhluk yang bernama jin. Ahmad Khan juga menguatkan pendapatnya dengan beberapa syair-syair jahiliah.

Bintu asy-Syathi, Aisyah Abdurrahman, pakar kontemporer Mesir dalam bidang bahasa dan Alquran, dalam bukunya Al-Qur’an wa Qadhaya al-Insan menulis antara lain lebih kurang sebagai berikut.

“Bukanlah satu keharusan membatasi pengertian jin pada hal-hal yang secara umum kita kenal pengertiannya sebagai hantu-hantu yang tidak nampak kepada kita kecuali dalam kegelapan yang manakutkan atau gambaran waham dan ilusi. Tetapi kata jin sesuai dengan pengertian kebahasaan yakni ketertutupan dan sesuai juga dengan kebiasaan Alquran memperhadapkan penyebutannya dengan ‘ins’ (manusia) dapat mencakup semua jenis makhluk selain manusia yang hidup di alam-alam yang tidak terlihat atau terjangkau dan yang berada di luar batas alam tempat kita manusia hidup, serta yang tidak terikat dengan hukum-hukum alam yang mengatur kehidupan kita sebagai manusia.”

Atas dasar pandangan ini, Bintu asy-Syathi tidak menutup kemungkinan jin masuk dalam pengertian apa yang dinamakan UFO (Unidentified Flying Object). Dalam dunia iptek, UFO adalah objek yang terlihat di angkasa dan diduga sebagai awak angkasa yang datang dari luar planet bumi namun tidak dapat diidentifikasi.

Wawasan Alquran tentang Jin

Di dalam Alquran ditemukan paling tidak lima kata yang sering digunakan untuk menunjuk makhluk halus dari jenis jin, yaitu jin, jaan, jinnat, iblis, dan syaithan.

Para pakar berbeda pendapat tentang maksud kata jaan. Pakar bahasa Arab, Al-Jauhari (W 1005), menyatakan bahwa jaan sama dengan jin, hanya saja kata jin adalah bentuk jamak dari kata jinny yang berbentuk tunggal, sedangkan jaan adalah ism jame atau kata yang digunakan untuk menunjuk sekelompok, jinny.

Dalam Alquran surah Ar-Rahman ayat 15 dinyatakan, “Dia (Allah) menciptakan jaan dari nyala api.”

Siapa yang dimaksud dengan jaan dalam ayat di atas? Ada yang berpendapat bahwa jaan adalah bapak jenis jin, sebagaimana Adam adalah bapak jenis manusia. Ada juga yang menyatakan bahwa jaan adalah iblis yang menggoda Adam dan bukan bapak jin.

Kata jinnat, baik yang dibubuhi alif dan lam atau tidak, ditemukan dua belas kali di dalam Alquran. Kesemuanya mengandung makna ketertutupan seperti gila (Al-A’raf: 184). Tetapi, tidak semuanya bermakna makhluk halus. Banyak ulama memahami kata jinnat dalam arti jin. Huruf “ta” yang menghiasi akhir kata itu adalah alamat ta’nist/tanda/bentuk feminisme untuk menunjukkan bahwa kata ini digunakan untuk menunjuk thaaifah (kelompok), sehingga kata jinnat berarti kelompok jin.

Perlu dicatat bahwa tidak semua jin adalah setan, karena jin ada yang taat kepada Allah SWT dan ada pula yang membangkang. “Sesungguhnya di antara kami ada yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” (Al-Jin: 11).

Di sisi lain, tidak semua setan adalah jin, karena ada juga setan manusia. “Setan-setan dari jenis manusia dan dari jenis jin sebagian dari mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112).

Kini, kalau Anda bertanya bagaimana wawasan Alquran tentang jin, dan apa yang harus dipercayai oleh seorang muslim tentang hal ini? Secara singkat dapat disimpulkan bahwa Alquran menjelaskan adanya makhluk ciptaan Allah yang bernama jin, tercipta dari api, sebagaimana diakui iblis dan dibenarkan oleh Alquran. “Aku lebih baik darinya (Adam). Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan Engkau menciptakannya dari tanah.” (Al-A’raf: 12). Perlu diingat informasi Alquran yang menyatakan, “Iblis (enggan sujud). Dia adalah dari golongan jin.” (Al-Kahfi: 50).

Makhluk ini mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan ciri manusia, antara lain bahwa dia dapat melihat manusia dan manusia tidak dapat melihatnya. Sesungguhnya ia danpengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (Al-A’raf: 27).

Makhluk ini dapat hidup di planet bumi. Alquran tidak menjelaskan di mana tetapi demikian itulah perintah Allah kepada-Nya ketika Yang Maha Kuasa itu mengusirnya bersama Adam dan surga. “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.” (Al-Baqarah: 36).

Mereka mempunyai kemampuan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan berat, seperti apa yang mereka lakukan untuk Nabi Sulaiman. “Dan, sebagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawwah kekuasaan Sulaiman) dengan izin Tuhannya.” (Saba’: 12). “Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam serta periuk-periuk yang tetap (berada di atas tungku).” (Saba’: 13).

Mereka juga mempunyai kemampuan hidup berada di luar planet bumi berdasarkan ucapan mereka yang dibenarkan dan diabadikan Alquran. “Sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api. Sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” (Al-Jin: 8–9).

Tidak semua bangsa jin itu jahat atau membangkang perintah Allah. “Sesungguhnya di antara kami ada yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” Demikian ucap jin yang dirakam dalam Alquran surah Al-Jin ayat 13.

Mereka juga mempunyai kemampuan memahami bahasa manusia, terbukti dari kemampuan mereka mendengar dan memahami Alquran. “Mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami telah mendengarkan Alquran yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Tuhan kami.” (Al-Jin: 1–2).

Awal penciptaan jin

Allah S.W.T. menciptakan jin sebelum menciptakan manusia, dengan selisih waktu yang lama bila dikiaskan pada manusia mahupun jin sendiri. Kita manusia bertanya-tanya, sebenarnya lebih dahulu mana antara makhluk jin dan manusia itu diciptakan? Untuk memperoleh keterangan dari pertanyaan tersebut, mari kita simak berbagai informasi sebagai berikut.

Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (Al-Hijr: 27).

Abu Hidzaifah Ishaq bin Basyar mengatakan dalam kitab Al-Mabda’ bahwa Abdullah bin Amr bin al-Ash berkata, “Jin diciptakan dua ribu tahun sebelum penciptaan Adam.”

Juwaibir memberikan kabar dari Adh-Dhahhak dari Ibn Abbas bahwa ia mengatakan, “Jin merupakan penghuni bumi, sementara malaikat adalah penghuni langit; merekalah yang meramaikan langit. Di setiap langit terdapat malaikat. Setiap penghuni langit selalu melakukan salat, bertasbih (menyucikan Tuhan), dan selalu berdoa. Penghuni langit yang lebih tinggi memiliki ibadah, doa salat, dan tasbih yang lebih banyak dibandingkan penghuni langit di bawahnya. Jadi, malaikat itu adalah penghuni langit, sementara jin adalah penghuni bumi.”

Ishaq juga mendapatkan berita dari Abu Ra’uf yang mendapatkannya dari Ikrimah yang mendapatkannya dari Ibnu Abbas, “Ketika Allah menciptakan bapaknya jin, Samum, yang dijadikannya dari nyala api, Ia berkata, ‘Hai jin, mintalah yang kamu inginkan!’ Jin menjawab, ‘Kami berharap agar kami dapat melihat manusia, tetapi kami tidak terlihat oleh mereka, agar kami menghilang di bawah tanah, dan kami tidak mati dalam keadaan tua renta, melainkan muda dulu’.” Artinya, bangsa jin bisa melihat tetapi tidak terlihat oleh manusia. Jika mati, mereka menghilang di dalam tanah, dan tidak mati sampai kembali muda.

Ishaq mengatakan, “Telah mengabarkan kepada saya Juwaibir dan Utsman dengan isnad mereka berdua bahwa Allah menciptakan jin dan memerintahkan mereka untuk menghuni bumi. Mereka menyembah Allah sampai batas waktu yang cukup lama, kemudian mereka mulai berbuat maksiat kepada Allah dan suka melakukan pertumpahan darah. Dalam lingkungan mereka dikenal seorang raja bernama Yusuf yang kemudian dibunuh oleh mereka. Lalu, Allah mengutus tentara dari malaikat yang berada di langit kedua. Dikatakan pula bahwa dalam kalangan jin terdapat iblis, berjumlah empat ribu makhluk jin, kemudian mereka turun dan membawa anak-anak jin dari bumi, mereka menjadi kuat dan mengikuti pemuka-pemukanya di pulau-pulau laut. Iblis dan tentara yang bersamanya tinggal di bumi. Karena mereka banyak, pekerjaan yang dilakukan menjadi mudah dan mereka pun senang tinggal di sana.”

As-Suyuthi di dalam Luqath al-Marjan fi al-Ahkam al-Jan menyebutkan bahwa Muqatil dan Juwaibir memberitahukan dari Adh-Dhahhak, dari Ibn Abbas, ia mengatakan, “Ketika Allah hendak menciptakan Adam, Ia berkata kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang khalifah di muka bumi ini.’ Kemudian, malaikat bertanya, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu makhluk yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah’.” Ibn Abbas berkata, “Para malaikat tidak mengetahui sesuatu yang gaib. Mereka menganggap perbuatan anak Adam seperti perbuatan para jin. Sehingga, mereka mengatakan apakah Tuhan akan menjadikan makhluk yang suka merusak seperti bangsa jin membuat kerusakan dan suka menumpahkan darah, sebagaimana bangsa jin menumpahkan darah, seperti perbuatan yang mereka lakukan dengan membunuh nabi mereka yang bernama Yusuf.”

As-Suyuthi mengomentari riwayat-riwayat di atas bahwa sanad-sanadnya rusak. Abu Hudzaifah seorang yang suka berbuat kebohongan, Juwaibir diabaikan perkataannya, sedangkan Adh-Dhahhak tidak mendengarkan secara langsung dari Ibn Abbas.

Tetapi, Al-Hakim meriwayatkan di dalam kitab Al-Mustadrak dan menganggap sahih sebuah riwayat dari Ibn Abbas, yang ia mengatakan, “Allah berkata, ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di bumi ini.’ Mereka (para malaikat) bertanya, ‘Apakah Engkau akan menjadikan makhluk yang suka membuat kerusakan dan melakukan pertumpahan darah?’ Dua ribu tahun sebelum itu telah diciptakan jin; mereka membuat kerusakan dan melakukan pertumpahan darah. Lalu, Allah mengutus tentara dari kelompok malaikat. Para tentara itu memukul para jin, sehingga mereka terdampar di kepulauan laut. Karena itu, ketika Allah berkata kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi ini,’ mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu makhluk yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,’ sebagaimana yang telah diperbuat oleh para jin.”

Ibn Jarir, Ibn Abi Hatim, dan Abu asy-Syekh (dalam kitan Al-‘Azhamah) meriwayatkan dari Abu al-‘Aliyah, “Allah SWT menciptakan malaikat pada hari Rabu, menciptakan jin pada hari Kamis, dan menciptakan Adam pada hari Jumat. Kemudian, satu kaum dari jin ingkar dan kafir, sehingga malaikat turun ke bumi lalu memerangi mereka. Jadi, pertumpahan darah dan kerusakan berlangsung. Karena itu malaikat berkata, ‘Mengapa Engkau akan menjadikan (khalifah) di bumi itu makhluk yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah’.”

Dalam kitab Al-‘Azhamah, Abu asy-Syekh berkata, “Saya mendapatkan berita dari Ahmad bin Muhammad al-Mashahafi, dari al-Bara, dari Abdul Mun’im bin Idris, dari bapaknya, ia berkata, ‘Wahab menyebutkan dari Ibn Abbas, ia mengatakan, ‘Allah menciptakan surga sebelum neraka, menciptakan rahmatnya sebelum kemarahan-Nya, menciptakan langit sebelum bumi, menciptakan matahari dan bulan sebelum bintang-bintang, menciptakan siang sebelum malam, menciptakan laut sebelum daratan, menciptakan daratan dan bumi sebelum gunung-gunung, menciptakan malaikat sebelum para jin, menciptakan jin sebelum manusia, dan menciptakan jenis laki-laki sebelum jenis perempuan’.”

Tempat tinggal jin

Makhluk jin lebih mengutamakan untuk tinggal di tempat-tempat yang sunyi dan sepi dari manusia seperti di padang pasir. Ada yang tinggal di tempat-tempat kotor seperti di tempat pembuangan sampah kerana mereka memakan makanan lebihan manusia. Ada juga mereka yang tinggal bersama manusia iaitu di dalam rumah. Abu Bakar bin Ubaid meriwayatkan: “Pada setiap rumah kaum muslimin ada jin Islam yang tinggal di atapnya, setiap kali makanan diletakkan, maka mereka turun dan makan bersama penghuni rumah.”

Jin juga menjadikan tandas sebagai tempat tinggalnya. Rasullullah s.a.w. telah bersabda: “Sesungguhnya pada tiap-tiap tempat pembuangan kotoran ada didatangi jin, kerana itu bila salah seorang kamu datang ke tandas maka hendaklah ia mengucapkan doa: ” Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari jin lelaki dan perempuan” (HR. Abu Dawud)

Jin juga sangat suka tinggal di lubang-lubang. Oleh kerana itu dalam sebuah hadis dijelaskan yang maksudnya: “Janganlah kamu kencing dilubang.”
(HR. An-Nas’i)

Kerajaan Iblis

Iblis mempunyai kerajaan yang sangat besar. Ada menteri-menteri, pemerintahan dan pejabat-pejabat. Iblis juga mempunyai wakil-wakil, lima di antaranya wajib diwaspadai :

  • Yang pertama, menurut kalangan Jin, bernama Tsabar. Dia selalu mendatangi orang yang sedang kesusahan atau ditimpa musibah, baik kematian isteri, anak ataupun kaum kerabat. Kemudian dia melancarkan bisikannya dan menyatakan permusuhannya kepada Allah. Diucapkannya, melalui mulut orang yang ditimpa musibah itu, keluh-kesah and caci-maki terhadap ketentuan Allah atas dirinya.
  • Yang kedua, namanya ialah Dasim. Syaitan inilah yang selalu berusaha dengan sekuat tenaganya untuk mencerai-beraikan ikatan perkahwinan, membuat rasa benci antara satu sama lain di kalangan suami-isteri, sehingga menjadi penceraian. Dia adalah anak kesayangan Iblis di wilayah kerajaannya yang sangat besar.
  • Yang ketiga, namanya ialah Al-A’war. Dia dan seluruh penghuni kerajaannya, adalah pakar-pakar dalam urusan mempermudah terjadinya perzinaan. Anak-anaknya menghiaskan indah bahagian bawah tubuh kaum wanita ketika mereka keluar rumah, khususnya kaum wanita masa kini, betul-betul menggembirakan Iblis di kerajaan yang besar. Segala persoalan yang menyangkut keruntuhan moral dan perzinahan berurusan dengan pejabat besar mereka.
  • Yang keempat, namanya ialah Maswath, pakar dalam menciptakan kebohongan-kebohongan besar mahupun kecil. Bahkan kejahatan yang dia dan anak-anaknya lakukan sampai pada tingkat dia memperlihatkan diri dalam bentuk seseorang yang duduk dalam suatu pertemuan yang disenggarakan oleh manusia, lalu menyebarkan kebohongan yang pada gilirannya disebarkan pula oleh manusia.
  • Yang kelima, namanya ialah Zalnabur. Syaitan yang satu ini berkeliaran di pasar-pasar di seluruh penjuru dunia. Merekalah yang menyebabkan pertengkaran, caci-maki, perselisihan dan bunuh-membunuh sesama manusia.

Unsur kejadian jin

Di dalam Alquran banyak ayat yang dapat dijadikan dalil untuk membuktikan bahawa sesungguhnya ada makhluk berwujud yang bernama jin.
Tujuan diciptakannya makhluk jin oleh Allah SWT itu sebagaimana tujuan diciptakannya manusia, yaitu untuk mengabdi kepada-Nya. Allah SWT berfirman yang artinya, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyaat: 56).

Alquran dan hadis sangat jelas menyatakan bahwa jin diciptakan dalam dunia nyata, unsur kejadiannya dari api. “Dan, Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (Al-Hijr: 27). “Dan, Dia menciptakan jin dari nyala api.” (Ar-Rahman: 15).

Allah juga berfirman tentang kisah iblis, “Aku lebih baik daripadanya (Adam). Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Al-A’raf: 12). Iblis, yang oleh Alquran ditegaskan dari jenis jin, mengemukakan dalil penolakannya untuk sujud kepada Adam. Dan, dalam keterangan di atas dengan jelas bahwa jin diciptakan dari api.

Hadis Nabi saw. pun menginformasikan hal yang sama. Imam Muslim dalam kitab sahihnya melalui istri Nabi saw., Aisyah r.a., meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api yang berkobar, sedangkan Adam (manusia) diciptakan sebagaimana apa yang telah dijelaskan kepada kalian.”

Meskipun keterangan telah jelas, baik dari Alquran dan hadis, sejak dahulu ada saja yang menolak pengertian penciptaan jin dari api. Dalam kitab Al-Funun, Abu al-Wafa’ bin ‘Aqil menyebutkan bahwa seseorang bertanya kepadanya tentang persoalan jin, maka ia menjawab, “Allah mengabarkan tentang mereka bahwa mereka diciptakan dari api, dan mengabarkan bahwa api dapat membahayakan danmembakar mereka. Lalu, bagaimana api dapat membakar api? Jawabannya, Allah SWT menisbahkan jin dan setan kepada api, sebagaimana Ia menisbahkan manusia kepada tanah, Lumpur, dan tanah liat. Maksudnya, manusia asalnya adalah tanah, tetapi manusia itu bukan tanah. Begitu pula jin, asalnya adalah api, tetapi jin bukan api.” Dalil tentang persoalan di atas disebutkan dalam perkataan Rasulullah saw., “Ketika setan datang dalam salatku, aku mencekiknya sampai aku mendapati air liurnya pada telapak tanganku.” (HR Bukhari, Imam Ahmad juga meriwayatkannya).

Al-Qadhi Abu Bakar mengatakan, “Hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat mereka (bansa jin). Sedangkan orang yang tidak diberikan penglihatan untuk melihat, tidak bisa melihat mereka.”

Ibn Mardawaih meriwayatkan dari Ibn Mas’ud, dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda, “Mimpinya seorang muslim merupakan satu bagian dari tujuh puluh bagian kenabian. Dan api ini adalah satu bagian dari tujuh puluh bagian api yang sangat panas, yang darinya diciptakan jin.”

Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia mengatakan, Rasulullah saw. bersabda, “Api kalian adalah satu bagian dari tujuh puluh ranting api neraka jahanam.” Demikian disebutkan dalam kitab Bad’ul Khalq.

Aneka bentuk jin

Dalam pandangan ulama, jin memiliki kemampuan membentuk dirinya dalam berbagai bentuk. Memang dari Alquran tidak ditemukan penjelasan tentang hal ini, tetapi banyak riwayat yang menginformasikannya.
Allah SWT berfirman (yang artinya), “(Ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Allah adalah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (Al-Anfal: 30).

Pakar tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ketika pemuka-pemuka suku di Mekah berunding untuk menghadapi Nabi saw., Iblis tampil dalam bentuk seorang tua terhormat dari suku Najed dan memberikan mereka saran agar memilih dari setiap suku, seorang pemuda, kemudian pemuda-pemuda pilihan itu secara bersamaan membunuh Muhammad. Dengan demikian, suku Nabi Muhammad saw. (Quraisy) tidak bisa membalas, karena bila menuntut, mereka akan menghadapi banyak suku.

Ibnu Katsir mengemukakan juga riwayat yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas r.a. bahwa dalam Perang Badar, Iblis tampil dalam gabungan tentara setan dalam bentuk seorang yang mereka kenal bernama Suraqah bin Malik bin Ju’syum yang ditakuti oleh suku Quraisy, karena ada dendam antarmereka. Suraqah berkata kepada kaum musyrikin, “Tidak ada seorang manusia pun yang dapat mengalahkan kamu pada hari ini dan aku adalah pembela kamu.” Tetapi, ketika perang berkecamuk, Rasulullah saw. mengambil segumpal tanah dan melemparkannya ke muka orang-orang musyrik, sehingga mereka kacau-balau. Ketika itu juga Malaikat Jibril menuju ke arah Iblis yang berpenampilan seperti Suraqah. Ketika ia, yang memegang tangan salah seorang musyrik, melihat Malaikat Jibril, makhluk terkutuk itu melepaskan tangan yang dipegangnya dan meninggalkan medan pertempuran bersama kelompoknya. Orang yang dipegang tangannya tadi berkata, “Wahai Suraqah, bukankah engkau berjanji membela kami?” Iblis menjawab, “Sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihatnya; sesungguhnya saya takut kepada Allah.”

Inilah menurut Ibnu Katsir yang dimaksud dengan firman Allah dalam Alquran surah Al-Anfal: 48, “Dan, ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan, ‘Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menang terhadap kamu pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu.’ Maka, tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling melihat (berhadapan), setan itu balik ke belakang seraya berkata, ‘Sesungguhnya saya berlepas diri dari kamu; sesungguhnya saya melihat apa yang kamu sekalian tidak lihat; sesungguhnya saya takut kepada Allah.’ Dan, Allah sangat keras siksa-Nya.”

Sebelum ini telah dikemukakan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari bahwa Abu Hurairah menangkap jin yang berbentuk manusia ketika ia mencari kurma sedekah. Rasulullah saw. juga menyampaikan kepada para sahabatnya bahwa, “Semalam tiba-tiba muncul di hadapanku jin ifrit untuk membatalkan salatku, maka Allah menganugerahkan aku kemampuan menangkapnya dan aku bermaksud mengikatnya pada salah satu tiang masjid, hingga kalian semua di pagi hari dapat melihatnya. Tetapi, aku mengingat ucapan (permohonan) saudaraku (Nabi) Sulaiman, ‘Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku’,” (38: 35). Berkata perawi hadis ini, “Maka, Nabi mengusirnya (tidak mengikatnya) dalam keadaan hina dan terkutuk.”

Imam Bukhari juga menyebutkan sekian riwayat menyangkut perubahan bentuk jin, antara lain dalam bentuk ular.

Ibnu Taimiyah menulis dalam kumpulan fatwanya bahwa jin dapat mengambil bentuk manusia atau binatang, seperti ular, kalajengking, sapi, kambing, kuda, dll.

Sahabat Nabi Ibnu Umar menyampaikan perintah Nabi untuk membunuh ular yang ditemukan di rumah. Demikian diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Di tempat lain termaktub juga riwayat bahwa Nabi saw. melarang membunuh ular yang ditemukan di rumah tanpa peringatan, karena penghuni rumah dari jenis jin sering mengambil bentuk ular-ular kecil. Bukhari dan Muslim meriwayatkan juga bahwa Nabi saw. bersbda, Ibnu Umar membunuh semua ular sampai sahabat Nabi saw. Abu Lubabah menyampaikan kepada kami bahwa Rasulullah saw. melarang membunuh ular-ular yang ditemukan di rumah (sebelum memberinya peringatan), dan sejak itu ia (Ibnu Umar) tidak lagi membunuhnya.”

Imam Muslim menjelaskan, peringatan yang dimaksud tersebut adalah dengan ucapan, “Aku mengimbau kalian, demi janji yang telah diambil dari kalian oleh Nabi Sulaiman putra Daud, agar kalian tidak mengganggu kami dan tidak pula menampakkan diri kepada kami.”

Hal serupa diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab Sunannya melalui Abi Laila, bahwa nsa ketika ditanya tentang ular-ular kecil yang ditemukan di rumah, maka beliau bersabda, “Kalau kalian menemukannya di rumah kalian, maka ucapkanlah, ‘Ansyudu kunna bil ahed allazy akhaza ‘alaikunna Nuh, …. Ansyudu kunna bil ahed allazy akhaza ‘alaikunna Sulaiman bin Daud an laa tu’zuuna!’ (Aku mengimbau demi janji yang telah diambil dari kalian oleh Nabi Nuh, aku mengimbau demi janji yang telah diambil dari kalian oleh Sulaiman, agar kalian tidak mengganggu kami dan bila ia kembali lagi, maka bunuhlah).”

Jin atau setan–katanya–jika mampu berbentuk manusia secara sempurna, maka ini dapat menjadikan kita meragukan setiap orang yang kita lihat. Apakah dia manusia yang kita kenal atau setan. Jin atau setan dapat menyerupai manusia secara sempurna, tetapi menyerupai Rasulullah saw. tidaklah bisa. Karena, Rasulullah saw. telah bersabda, “Siapa yang melihatku dalam mimpi, maka dia benar-benar telah melihatku (dalam mimpinya), karena setan tidak dapat menyerupakan dirinya dengan aku.” (HR Bukhari melalui Anas bin Malik).

Jenis dan kepelbagaian jin

Dari beberapa ayat Alquran, para ulama memahami bahwa jin memiliki kelompok-kelompok, bahkan masyarakat jin itu tidak ubahnya seperti masyarakat manusia.
Allah SWT berfirman yang artinya, “Hai jamaah/kelompok jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya, melainkan dengan kekuatan.” (Ar-Rahman: 33).

Kata jamaah/kelompok yang ditujukan kepada jin dan manusia menunjukkan bahwa antara masing-masing jenis itu–manusia dan jin–terdapat ikatan yang menyatukan anggota-anggotanya. Ini juga sejalan dengan petunjuk dalam Alquran surah Al-A’raf: 38 yang menyifati, baik manusia maupun jin, dengan kata umum (jamak: umat), yakni sekelompok makhluk yang memiliki ikatan karena adanya persamaan-persamaan tertentu.

Selanjutnya, banyak ulama menegaskan bahwa jin, sebagaimana semua makhluk ciptaan Allah, terdiri dari dua jenis kelamin: laki-laki dan perempuan. Hal ini sejalan dengan hakikat yang ditegaskan oleh Allah antara lain dalam surah Yasin: 36, “Maha suci (Tuhan) yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” Disebutkan di dalam surah Al-Jin: 6, “Ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin ….”

Selain keterangan dari Alquran, juga disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan melalui sahabat Anas bin Malik r.a. yang berkata bahwa Nabi saw. apa bila masuk ke toilet membaca, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari gangguan jin laki-laki dan jin perempuan.”

Karena bangsa jin itu berjenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan, maka mereka pun berhubungan seks. Jumlah jin juga sangat banyak, “Sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam banyak dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) danmrk mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).” (Al-A’raf: 179).

Sahabat Nabi saw., Abu Hurairah r.a., menceritakan bahwa ia ditugaskan oleh Rasulullah saw. menjaga zakat pada bulan Ramadan. Pada suatu malam ia kedatangan seorang yang merangkak untuk mengambil makanan. Abu Hurairah menangkapnya sambil berkata, “Demi Allah, engkau pasti kubawa kepada Rasulullah saw.” Yang ditangkap itu berkata, “Aku perlu dan aku mempunyai anak-anak (keluarga).” Maka, Abu Hurairah melepaskannya. Peristiwa serupa terulang, dan pada malam ketiganya Abu Hurairah berkeras membawanya kepada Rasulullah saw. Yang ditangkap itu mengimbau sambil mengajarkan kepada Abu Hurairah agar membaca ayat Kursi sebelum tidur supara terpelihara dari gangguan setan. Keesokan harinya Nabi saw. bertanya kepada Abu Hurairah apa yang dialaminya semalam, dan setelah dijelaskannya, Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya ia telah berucap benar kepadamu, walau sebenarnya dia pembohong. Tahukah engkau siapa yang engkau ajak berbicara sejak tiga malam?” “Tidak!” (jawab Abu Hurairah). Sabda Nabi saw., “Itulah setan.”

Dalam riwayat tersebut terlihat bahwa setan mempunyai anak dan keluarga dan bahwa dia membutuhkan pula makanan.

Jin dapat terlibat dalam Hubungan Seks antara Suami dan Isteri dari Golongan Manusia

Jin dapat terlibat dan ikut berhubungan seks dengan isteri-isteri manusia serta anak-anak mereka. Hal ini dapat dipahami dari penggalan sebuah ayat yang berbunyi, “… bersekutulah dengan mereka pada harta dan anak-anak, ….”

Ketahuilah, apabila seorang lelaki mencampuri isterinya ketika sedang haid, maka syaitan mendahuluinya. Ketika si isteri hamil dan melahirkan, maka yang lahir itu adalah al-mukhannats, iaitu anak-anak jin. Nuthfahnya akan rosak, bahkan boleh membuat si lelaki dan perempuan itu menderita penyakit. Sesungguhnya Allah s.w.t. melarang kita untuk mencampuri isteri-isteri kita yang sedang haid. Barangsiapa melakukan itu, dialah yang bertanggungjawab terhadap akibatnya, dan lebih dari itu dia pulalah yang akan menerima akibatnya jika dari hubungan tersebut lahir mukhannats.

Oleh karena itu, Nabi saw. mengajar pasangan suami istri agar berdoa sebelum melakukan hubungan seks dengan membaca, yang artinya, “Ya Allah, hindarkanlah kami dari setan dan hindarkan pula setan dari rezeki yang Engkau anugerahkan kepada kami.” (HR Bukhari dan Muslim).

9 anak-anak setan yang lain

  1. ZALITUUN : Duduk di pasar/kedai supaya manusia hilang sifat jimat cermat. Menggoda supaya manusia berbelanja lebih dan membeli barang-barang yang tidak perlu.
  2. WATHIIN : Pergi kepada orang yang mendapat musibah supaya bersangka buruk terhadap Allah.
  3. A’AWAN : Menghasut sultan/raja/pemerintah supaya tidak mendekati rakyat. Seronok dengan kedudukan/kekayaan hingga terabai kebajikan rakyat dan tidak mahu mendengar nasihat para ulama.
  4. HAFFAF : Berkawan baik dengan kaki botol. Suka menghampiri orang berada di tempat-tempat maksiat ( i.e. disko, kelab malam & tempat yang ada minuman keras )
  5. MURRAH : Merosakkan dan melalaikan ahli dan orang yang sukakan muzik sehingga lupa kepada Allah. Mereka ini tenggelam dalam keseronokan dan glamour etc.
  6. MASUUD : Duduk dibibir mulut manusia supaya melahirkan fitnah, gosip, umpatan dan segala apa sahaja penyakit yang mula dari kata-kata mulut.
  7. DAASIM ( Berilah Salam sebelum masuk ke rumah ) : Duduk di pintu rumah kita. Jika tidak memberi salam ketika masuk ke rumah, Daasim akan bertindak agar berlaku keruntuhan rumahtangga. (suami-isteri bercerai-berai, suami bertindak ganas, memukul isteri, isteri hilang pertimbangan menuntut cerai, anak-anak didera dan perbagai bentuk kemusnahan rumahtangga).
  8. WALAHAAN : Menimbulkan rasa was-was dalam diri manusia khususnya ketika berwudhuk dan solat dan menjejaskan ibadat-ibadat kita yang lain.
  9. LAKHUUS : Merupakan sahabat orang Majusi yang menyembah api dan matahari.

Kepelbagaian Jin

Dalam konteks pembicaraan tentang jenis-jenis makhluk halus ini, ada beberapa riwayat yang menjelaskannya.

Rasulullah saw. bersabda, “Jin ada tiga macam. Ada yang memiliki sayap terbang di udara, ada yang berupa ular dan anjing, serta ada juga yang bermukim dan berpindah-pindah.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam As-Suyuthi dalam Al-Jami’ al-Shagir, demikian juga Al-Hakim. Kedua ulama ini menilai bahwa riwayat di atas sahih. Namun, ulama lainnya menilai bahwa kedua ulamat tersebut cenderung longgar dalam penilaian mereka.

Riwayat lain dari pakar hadis Ibnu Abi Addunya di dalam Makaaid asy-Syaithan melalui Abu Darda r.a., bahwa Nabi saw. bersabda, “Allah menciptakan jin tiga macam. Ada yang berupa ular, kalajengking dan bermukim atau berpindah-pindah, dan ada juga jenis yang akan dimintai pertanggungjawaban serta siksa. Allah menciptakan manusia tiga macam pula, ada yang semacam binatang, “Allah berifmran, ‘Mereka mempunyai kalbu, tetapi mereka tidak menggunakannya untuk mengetahui, mereka mempunyai mata, tetapi tidak menggunakannya untuk melihat, mereka mempunyai telinga tetapi tidak menggunakannya untuk mendengar; dan ada juga yang jasmaninya, jasmani manusia, tetapi jiwanya jiwa setan, dan ada lagi yang berada di bawah naungan Allah, pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya (hari kiamat).”

Dalam rentetan perawi hadis ini, terdapat orang-orang yang dinilai lemah, sehingga tidak sedikit ulama yang menilai hadis ini lemah.

Abu Utsman Sa’id bin Al-Abbas ar-Razi meriwayatkan dari Ibn Abbas, katanya, “Sesungguhnya anjing merupakan jenis jin yang lemah, siapa yang didatangi oleh anjing pada makanannya, segeralah makan makanan itu atau ditunda.”

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abdullah bin Mughaffal, Nabi saw. bersabda, “Kalaulah anjing itu bukan suatu umat, niscaya aku perintahkan kalian untuk membunuhnya. Maka, bunuh saja anjing yang hitam legam.” At-Tirmizi meriwayatkan dari Abdullah bin Mughaffal denganlafal yang lain, “Kalaulah anjing itu bukan suatu umat, niscaya aku perintahkan kalian untuk membunuhnya. Maka, bunuhlah darinya yang hitam legam saja.” Muslim meriwayatkan dengan redaksi, “Berhati-hatilah terhadap yang hitam legam yang mempunyai dua titik (bintik), karena sesungguhnya itu setan.”

Rasulullah juga menambahkan, “Jalannya anjing yang hitam dapat memutuskan salat.” Lalu, ditanya kepada beliau, “Bagaimana dengan anjing berwarna merah, putih, selain warna hitam?” Beliau menjawab, “Anjing hitam adalah setan.” (HR Ahmad).

Al-Qadhi Abu Ya’la mengatakan, “Jika ada orang yang bertanya pengertian ucapan Rasul bahwa anjing hitam adalah setan, padahal diketahui ia lahir dari anjing itu sendiri, atau unta dikatakan sebagai jin, padahal ia lahir dari unta juga, maka jawabannya, beliau mengatakan itu untuk menyerupakannya dengan jin, karena anjing hitam adalah anjing yang paling berbahaya dan paling sedikit kegunaannya dibandingkan anjing-anjing lain, sedangkan diserupakannya unta dengan jin karena sulit jangkauannya.”

Ath-Thabarani dan Abu asy-Syaikh dalam kitab Al-Azhamah meriwayatkan sebuah hadis sahih dari Ibn Abbas, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Ular adalah perubahan bentuk jin, sebagaimana perubahan kera dan babi dari Bani Israel.”

Ibn Abi Syaibah meriwayatkan dari Jabir bahwa Rasulullah mengatakan, “Hati-hatilah kalian berjalan di malam hari, karena bumi tersembunyi di malam hari; jika hantu menjelma di hadapan kalian hendaklah kalian mengumandangkan azan.” (Lihat Jam’ul Jawami’ oleh As-Suyuthi)

Kemampuan jin

Umat Islam percaya bahwa Allah menganugerahkan kepada jin kemampuan yang berbeda dengan manusia. Tetapi, itu bukan berarti bahwa jin itu lebih mulia dari manusia, atau berarti jin tidak pantas sujud kepada Adam.
Beberapa kelebihan jin diimbangiol beberapa kelebihan manusia yang mampu mengembangkan dan memanfaatkan daya-daya yang dianugerahkan Allah kepadanya, sehingga pada akhirnya manusia dapat unggul atas jin.

Mengharungi Angkasa

Allah SWT berfirman yang artinya, “Sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi, sekarang barang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” (Al-Jin: 9).

Maksudnya, dahulu sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. mereka dengan mudah naik ke langit dan dengan tenang mendengarkan pembicaraan para malaikat, tetapi kini walaupun masih memiliki kemampuan, tetapi upaya menuju ke langit dan ketenangan mendengar pembicaraan itu diusik dengan semburan api.

“Kami (Allah) menjaganya (langit) dari tiap-tiap setan yang terkutuk, kecuali setan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat), lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.” (Al-Hijr: 17–18).

Kalau tadinya mereka dengan leluasa mendengar apa saja, kemudian menginformasikannya kepada tukang-tukang tenung dan peramal yang tuntuk kepada mereka, maka sejak diutusnya Nabi saw. kemampuan tersebut sudah terbatas, sehingga sejak itu mereka hanya dapat mencuri-curi pendengaran. Dengan demikian, kalaupun mereka dapat memberi informasi kepada kepada rekan-rekannya manusia atau jin, maka informasi itu sepotong-potong, bahkan keliru. Tidak jarang para peramal yang berhubungan dengan jin membumbui dan menambah-nambah informasi jin yang setengah-setengah itu.

“Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa.” (Asy-Syuara’: 221–222).

Rasulullah saw. bersabda (yang artinya), “Apabila Allah menetapkan suatu ketetapan, para malaikat merendahkan sayap mereka pertanda tunduk kepada ketetapan-Nya, bagaikan rantai yang menyentuh batu yang halus serta takut kepada-Nya, maka apabila ketakutan mereka telah reda, (sebagian) mereka bertanya kepada sebagian yang lain, ‘Apa yang disampaikan Tuhan?’ Maka, yang ini menjawab kepada yang bertanya, ‘Allah menetapkan yang hak, Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar’ (sambil menyampaikan apa yang ditetapkan Allah). Ketika itu para jin yang mencuri-curi pendengaran dalam keadaan seperti ini (perawi hadis ini menunjukkan tangan kanannya dengan merenggangkan jari-jarinya satu di atas yang lain). Ketika itu boleh jadi yang mencuri pendengaran terkena semburan api sehingga membakarnya, dan boleh jadi juga ia luput dari semburannya, sehingga ia menyampaikannya kepada jin yang ada di bawahnyadan akhirnya sampai ke bumi dan diterima oleh tukang sihir atau tenung, lalu ia berbohong seratus kebohongan, dan dia dipercaya. Orang-orang yang mendengar dan mempercayainya berkata, ‘Bukankah pada hari ini dan itu ia menyampaikan kepada kita, ini dan itu, dan ternyata benar’ Yakni, benar menyangkut apa yang didengar dari langit.” (HR Bukhari melalui sahabat Nabi, Abu Hurairah).

Hadis serupa diriwayatkan juga oleh Imam Muslim melalui Ibnu Asbbas, dia berkata, Aku diberitakan oleh salah seorang sahabat Nabi saw. dari kelompok Anshar (penduduk Madinah) bahwa pada suatu malam mereka duduk bersama Nabi, tiba-tiba ada cahaya bintang menyembur. Rasulullah saw. bertanya, “Apa yang kalian duga pada masa jahiliah bila terjadi semburan demikian?” Mereka menjawab, Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Kami tadinya berkata (percaya) bahwa pada malam itu lahir atau wafat seorang yang agung. Rasulullah saw. menjawab, “Ia tidak menyembur karena kematian atau kelahiran seseorang, tetapi Tuhan kita Yang Maha Suci dan Maha Tinggi nama-Nya apabila menetapkan sesuatu para malaikat pemikul Arsy (singgasana Ilahi) bertasbih, kemudian penghuni langit di bawah mereka juga bertasbih, hingga sampai tasbih kepada penduduk langit dunia. Mereka yang berada di bawah para malaikat pemikul Arsy bertanya, ‘Apa yang difirmankan Tuhan?’ Maka, mereka menyampaikannya apa yang difirmankan-Nya itu. Penduduk langit pun saling bertanya dan memberitakan hingga sampai kepada penghuni langit dunia. Ketika itu jin mencuri-curi pendengaran, lalu menyampaikannya kepada rekan-rekan mereka. Maka, apa yang mereka sampaikan sebagaimana yang mereka dengar adalah benar, tetapi mereka mencampurinya dengan kebohongan dan menambah-nambahnya.”

Berdasarkan informasi di atas, jin mempunyai kemampuan untuk menembus angkasa dan mendengar percakapan penghuni-penghuninya dan bahwa kini langit dijaga dan ada semburan api yang dapat membakar mereka jika mendekat.

Pada zaman modern sekarang ini mungkin banyak yang bertanya tentang semburan api tersebut, karena di sekolah kita sekarang sudah mengenal mata pelajaran tentang planet dan tata surya. Berkaitan dengan itu, Sayyid Quthub (1903–1966) mengungkapkan, “Persoalan penjagaan langit, penyemburan setan, dan semacamnya bukan persoalan kita. Apalagi, bukankah tudak mustahil–dalam peredarannya itu–ia menyemburkan panah-panah api ke arah setan-setan jin, dan bukan pulakah peredaran seluruh planet–yang menyemburkan api maupun yang tidak–kesemuanya tunduk kepada kehendak Allah yang menetapkan hukum-hukum tersebut? Wallahu a’lam.

Selanjutnya para ulama yang menetapkan makna kalimat-kalimat di atas dalam pengertian hakikinya berbeda pendapat menyangkut kemampuan mencuri pendengaran yang dilakukan oleh para jin, apakah hingga kini mereka masih dapat melakukannya atau tidak lagi. Yang menafikkan berpegang kepada firman Allah, “Sesungguhnya mereka benar-benar dijauhkan dari mendengar.” (Asy-Syu’ara: 223). Sedangkan yang berpendapat masih dapat mendengarkan walau dengan sangat terbatas merujuk kepada firman Allah, “Mereka menghadapkan pendengaran itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta.” (Asy-Syu’ara: 223).

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di atas mendukung pendapat yang menyatakan bahwa jin masih memiliki kemampuan mendengar berita-berita langit, tetapi kemampuan tersebut sudah sangat terbatas. Ibnu Khaldun (1332–1406) dalam Mukaddimahnya berpendapat bahwa para jin hanya terhalangi mendengar satu macam dari berita-berita langit, yaitu yang berkaitan dengan berita diutusnya Nabi saw., tidak selainnya. Atau, seperti tulis pakar tafsir Mahmud al-Alusy (1802–1854), boleh jadi juga keterhalangan itu hanya terbatas menjelang kehadiran Nabi saw., bukan sebelumnya dan bukan juga sesudah kehadiran beliau sebagai rasul.

Pekerja Berat

Alquran menguraikan anugerah Allah kepada Nabi Sulaiman a.s., antara lain melalui firman-Nya, “Dan, Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan, dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula), dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan, sebagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasannya) dengan izin Tuhannya. Dan, siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala.” (Saba’: 12–13).

Dalam surah Shaad ayat 36–37 Allah berfirman, “Kemudian, Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja yang dikehendakinya, dan (Kami tundukkan pula kepadanya) setan-setan, semuanya ahli bangunan dan penyelam.”

Selanjutnya, “Kami telah tundukkan (pula kepada Sulaiman) segolongan setan-setan yang menyelam (ke dalam laut) untuknya danmengerjakan pekerjaan selain dari itu.” (Al-Anbiya’: 82).

Dari ayat-ayat di atas, diketahui bahwa jin diperintah oleh Nabi Sulaiman dan bekerja untuknya. Mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan berat yang dilukiskan oleh Alquran. Antara lain, “Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi, patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam serta periuk yang tetap (berada di atas tungku).” (Saba’: 13).

Alquran juga menginformasikan bahwa suatu ketika Nabi Sulaiman berkata, “Hai pembesar-pembesar! Siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya (Ratu Balqis) kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” (An-Namel: 38).

Seperti diketahui bahwa Ratu Balqis ketika itu tinggal di Yaman, sedangkan Nabi Sulaiman di Baitul Maqdis (yerusalem).

“Berkata Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin, ‘Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu sebelum engkau berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya, lagi dapat dipercaya.” (An-Namel: 39).

Dalam ayat ini terlihat kemampuan Ifrit, yakni jin yang cerdik. Dia menyatakan mampu membawa singgasana itu dalam waktu singkat, yakni sebelum Nabi Sulaiman beranjak pulang ke kediamannya, yang konon menurut sementara ulama ia kembali setelah berada bersama stafnya sejak pagi hingga tengah hari. Demikian kemampuan jin.

“Boleh jadi par jin telah mendahului manusia dalam menciptakan sesuatu semacam radio dan TV,” demikian tulis Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar, seorang ilmuwan kontemporer dari Yordan dalam bukunya, Alam al-Jin wa asy-Syayaathiin. Ini didasarkan atas informasi Ibnu Taimiyah dalam kumpulan fatwanya yang menginformasikan bahwa, “Sementara orang yang mempunyai hubungan dengan jin menyampaikan kepadanya, bahwa jin menunjukkan kepada mereka sesuatu yang mengkilap seperti air dan kaca dan menyampaikan kepada mereka berita-berita yang mereka tanyakan. Para jin itu juga menyampaikan permintaan apa yang diminta oleh sahabat-sahabat saya dan saya menjawabnya, kemudian jin menyampaikan jawaban saya kepada mereka.”

Perlu dicatat bahwa meskipun kemampuan tersebut besar, Alquran menegaskan bahwa manusia memiliki potensi yang lebih besar dan dapat diaktualkan. Ini terbaca pada lanjutan ayat di atas, “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari al-kitab, ‘Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.’Maka, tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata, ‘Ini termasuk karunia Tuhanku untuk menguji aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Barang siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Mahamulia’.” (An-Namel: 40).

Ghaib

Salah satu hal yang ditegaskan secara gamblang oleh Alquran adalah ketidakmampuan jin mengetahui yang gaib. Walaupun sejak dahulu bahkan hingga kini ada yang menduga bahwa jin dapat mengetahui yang gaib, sehingga ada orang-orang yang sengaja menemui “siapa yang diduganya pandai/orang pintar” atau yang diduganya mempunyai hubungan dengan jin untuk memperoleh informasi.

Memang, boleh jadi jin mengetahui lebih banyak dari manusia karena kemampuannya mengarungi angkasa, atau kecepatannya bergerak. Boleh jagi dia mengetahui sesuatu yang terjadi pada masa lalu dan kini yang tidak diketahui manusia tertentu, tetapi ini tidak berarti ia mengetahui yang gaib, karena hal tersebut telah diketahui sebelumnya oleh manusia tertentu. Burung rajawali memiliki mata yang sangat tajam, sehingga dari ketinggian ia dapat melihat dan mengetahui adanya sesuatu yang tidak dilihat atau diketahui manusia, walaupun sesuatu itu berada sangat dekat dengan manusia. Kemampuan burung itu melihat dan mengetahui tidak menjadikan kita berkata bahwa burung rajawali mengetahui yang gaib.

Jika demikian, boleh jadi sesekali ada informasi jin yang benar, karena satu dan lain hal, tetapi ini tidak mengurangi sedikit pun prinsip dasar yang dikemukakan di atas, yakni bahwa jin tidak mengetahui yang gaib. Apakah jika Anda mendengar suatu berita melalui satelit, yang tidak didengr oleh orang lain, kemudian Anda memberitakannya bahwa Anda dapat mengetahui yang gaib? Dengan demikian, jika ada orang bertanya, bukankah ada paranormal yang mengetahu keadaan orang padahal orang tersebut belum menceritakannya? Maka, hal demikian mudah untuk dijelaskan. Ketika seseorang datang kepada dukun atau paranormal, ada jin yang meyertainya. Ketika orang tersebut bertanya, maka jin yang menyertai orang tersebut yang sudah mengerti keadaannya berpindah ke dukun atau paranormal untuk membisikkan ke dalam hatinya (dengan bisikkan hati, sehinga hati cenderung mengungkapkan sesuatu atas dasar pertanyaannya itu, yang hal itu berasal dari jin). Ketika dukun atau paranormal itu berbicara, ternyata sesuai dengan kenyataan. Maka, membuat orang yang datang itu mempercayainya.

Hal tersebut di atas dengan sangat jelas diterangkan dengan adanya informasi sebagai berikut. Ibn Abi Daud meriwayatkan dari Al-Muthallib bin Abdullah, bahwa Umar bin Khattab r.a. mengingat perempuan dalam hatinya dan ia tidak mengabarkan kepada seorang pun. Lalu, seorang laki-laki datang padanya dan berkata, “Kamu mengingat seorang wanita. Ia cantik dan mulia, berada di rumah yang baik.” Lalu, Umar r.a. berkata, “Siapa yang mengatakan ini kepadamu?” Ia menjawab, “Manusia memperbincangkannya.: Kata Umar r.a., “Demi Allah, aku tidak mengabarkan hal ini kepada seorang pun, dari mana mereka tahu?” Kemudian ia berkata, “Ya, aku tahu. Khannas (jin) yang mengeluarkannya.”

Dari riwayat di atas bisa diterangkan bahwa ternyata jin yang tadinya berada di dalam diri Umar bin Khattab r.a. yang kemudian mengetahui apa yang sedang dipikirkannya, kemudian keluar dan memberitakannya kepada pihak lain. Pihak lain kemudian menyebarkannya kepada orang-orang, maka tersebarlah berita itu.

Ibn Abi Daud meriwayatkan dari Abi al-Jauza, ia berkata, “Aku telah menalak istriku dan jiwaku berbisik pada diriku agar aku rujuk (kembali) kepadanya pada hari Jumat. Aku tidak mengabarkan hal ini kepada seorang pun. Lalu, tiba-tiba istriku berkata kepadaku. “Kamu datang ingin kembali kepadaku hari Jumat. Aku berkata, “Berita ini tidak pernah aku ceritakan kepada seorang pun … sampai aku perkataan Ibn Abbas bahwa bisikan seorang akan mengabarkan segala bisikan yang ada pada orang lain, lalu mereka menyebarkan pembicaraan itu.”

Ibn Abi Daud meriwayatkan dari Al-Hajjaj bin Yusuf bahwa ia datang dengan seorang yang dituduh sebagai tukang sihir, lalu ia bertanya, “Apakah kamu seorang penyihir?”
Ia menjawab, “Bukan.”

Kemudian, ia mengambil segumpal kerikil dan menghitungnya, lalu berkata kepadanya, “Berapa jumlah kerikil di tanganku?”

Ia mengatakan, “Jumlahnya sekian … sekian …,” lalu ia melemparkannya.

Selanjutnya ia mengambil kerikil yang lain tanpa menghitungnya dan berkata, “Berapa kerikil yang ada padaku?”

Lelaki itu menjawab, “Tidak tahu.”

Al-Hajjaj berkata, “Bagaimana Anda mengetahui yang pertama, tetapi tidak tahu jumlah yang kedua?”

Ia menjawab, “Yang pertama engkau mengetahuinya sehingga bisikanmu mengetahuinya juga. Lalu, bisikanmu mengabarkan kepada bisikanku. Sedangkan yang kedua kamu tidak tahu, sehingga bisikanmu juga tidak mengetahuinya, maka ia tidak memberitahukan kepada bisikanku, karena itu aku tidak mengetahuinya.”

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya setan berada dalam diri manusia bagaikan aliran darah, dan aku khawatir itu mengotori hati kalian.” (HR Bukhari). Ibn Aqil berkata, “Jika ditanya, bagaimana itu bisikan dari setan dan bagaimana ia sampai ke dalam hati, maka dikatakan ia berbentuk pembicaraan tersembunyi yang dicenderungi oleh jiwa dan watak manusia.”

Dengan telah diketahuinya rahasia ini (mengapa dukun bisa mengetahui pikiran atau keadan orang), maka selayaknya kini tidaklah perlu mempercayainya lagi. Karena percaya kepada dukun salah satu bentuk dari perbuatan syirik. Dan, syirik adalah dosa yang sangat besar. Jika seseorang mati dalam keadaan syirik, maka dosa-dosanya tidak diampuni oleh Allah, dan di akhirat berada dalam kesengsaraan yang langgeng. Kita berlindung kepada Allah dari keadaan yang semacam itu.

Apakah jin boleh dilihat oleh manusia?

Allah SWT berfirman yang artinya, “Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (Al-A’raf: 27).
Ayat ini dipahami oleh sekian banyak ulama sebagai dalil ketidakmungkinannya manusia melihat jin. Imam Syafii menegaskan, bahwa berdasrkan ayat di atas, manusia tidak mungkin melihat jin. “Siapa yang mengaku dapat melihat jin, maka kami tolak kesaksiannya, kecuali nabi.” (Maksud ucapan ini adalah yang mengaku melihat jin dalam bentuk yang aslinya. Adapun yang mengaku melihat jin setelah berubah bentuk dengan aneka bentuk makhluk, maka kesaksiannya dapat diterima).

Sebagian yang lain mengakui bahwa jin dapat dilihat oleh manusia jika jin berubah dengan bentuk makhluk yang dapat dilihat oleh manusia. Pendapat ini didukung oleh riwayat-riwayat yang menginformasikan bahwa para sahabat Nabi saw., tabi’in, dan banyak ulama pernah melihat makhluk-makhluk halus, tetapi dalam bentuk manusia atau binatang.

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab sahihnya bahwa sahabat-sahabat Nabi saw. pernah melihat Malaikat Jibril ketika ia datang dalambentuk manusia. Umar bin Khattab menuturkan bahwa suatu ketika datang seorang yang tidak dikenal, berpakaian sangat putih, rambut teratur rapi, tidak nampak dari penampilannya tanda-tanda bahwa ia datang dari perjalanan jauh. Orang itu bertanya kepada Nabi saw. tentang Islam, iman, dan ihsan. Setiap Nabi saw. menjawab, dia membenarkannya. Dia juga bertanya tentang kiamat dan tanda-tandanya. Umar r.a. dan juga sahabat-sahabat Nabi saw. yang mendengarnya terheran-heran. Bagaimana seorang yang berpenampilan rapi, berpakaian bersih, yang berarti bahwa yang bersngkutan tidak datang dari tempat jauh atau dengan kata lain ia adalah penduduk setempat tetapi tidak mereka kenal? Mereka juga terheran-heran mengapa setiap pertanyaannya yang dijawab oleh Nabi saw., selalu yang bertanya itu sendiri yang membenarkannya. Ketika percakapan Nabi saw. dan pendatang itu selesai, Nabi saw. bertanya kepada para sahabatnya, “Tahukah kalian, siapa yang datang tadi?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang tahu. Nabi saw. menjelaskan, “Itulah Jibril datang mengajar kalian agama kalian.” Mendengar penjelasan Nabi saw. itu, Umar r.a. bergegas keluar hendak melihatnya, tetapi ia telah menghilang.

Nah, jika demikian, malaikat dapat dilihat, tetapi bukan dalam bentuk aslinya. Ia dapat dilihat apabila mengambil bentuk yang memungkinkan untuk dilihat manusia.

Demikian halnya dengan jin, ia dapat dilihat bukan dalam bentuk aslinya, tetapi bila ia mengambil bentuk yang sesuai dengan potensi penglihatan manusia. Riwayat-riwayat tentang hal ini sangat banyak. Bahkan, tidak hanya ulama, orang-orang biasa yang tidak ahli agama pun banyak yang mengalami melihat jin dalam bentuk makhluk (manusia atau lainnya). Dan, di antara mereka ada yang sengaja dengan sunguh-sungguh ingin melihat jin, mereka mengamalkan amalan dari orang-orang yang dianggap ahli dalam hal itu, dan mereka ada yang berhasil mendapatinya bahwa jin dapat dilihat dalam bentuk makhluk.

Selain itu, ada beberapa hadis Nabi saw. yang menginformasikan bahwa ada binatang yang dapat melihat jin. Dalam sahih Bukhari dan Muslim, sahabat Nabi Abu Hurairah menyampaikan bahwa Nabi saw. bersabda, “Kalau kalian mendengar suara ayam jantan berkokok, maka mohonlah kepada Allah anugerah-Nya, karena ketika itu dia melihat malaikat, dan jika kalian mendengar teriakan keledai, maka mohonlah perlindungan kepada Allah dari godaan setan, karena ketika itu dia melihat setan.”

Pandangan masyarakat jahiliyyah tentang jin

Secara umum masyarakat jahiliyah mempercayai adanya makhluk yangbernama jin, yang mereka yakini sebagai makhluk yang memiliki kekuatan tersembunyi. Menurut kepercayaan mereka, jin mampu mengakibatkan gangguan, di samping dapat juga memberi manfaat. Karena itu, Alquran mengungkapkan, “Sebagian mereka menyembah jin.” (Saba’: 41), bahkan dalam surah Ash-Shafaat ayat 158 ditegaskan bahwa, “Mereka mengadakan hubungan nasab antara Allah dan antara jin,” dan bahwa orang-orang musyrik “menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah yang menciptakan jin-jin itu.” (Al-An’am: 100).

Dari sini pula tidak jarang sebagian mereka meminta bantuan jin dan perlindungannya sebagaimana tercantum dalam surah Al-Jin ayat 6. Tetapi, seperti bunyi ayat selanjutnya, “… jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan/kesulitan.”

Kepercayaan masarakat jahiliyah tentang kemampuan jin memberi gangguan mengantar mereka menyembelih binatang sebagai sesaji kepada jin pada saat mereka menghuni rumah baru, atau menggali sumur, dan sebagainya. Sementara, suku masyarakat jahiliyah mengadakan perjanjian kerja sama dalam bidang pertahanan dengan jin, bahkan konon terjalin hubungan perkawinan antara mereka.

Keyakinan masyarakat jahiliyah menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada makhluk halus masih bertahan dalam benak sebagian umat Islam hingga kini. Pakar hadis Badruddin al-Adin al-Sybli dalam bukunya Akaam al-Marjaan mengemukakan riwayat bahwa Ibnu al-Qayyim mengatakan kepadanya bahwa imam kelompok mazhab Hanafi di Mekah menceritakan kepadanya bahwa ketika ia menyaksikan sendiri penggalian sumur di Mekah, tiba-tiba salah seorang penggali sumur itu kesurupan dan terdengar darinya suara yang berkata, “Wahai kaum muslimin, tidak halal bagi kalian menganiaya kami. Maka sang imam berkata, ‘Apakah penganiayaan kami atas kalian?’ Dia menjawab, ‘Kami penghuni wilayah ini. Tidak seorang muslim pun kecuali saya; yang lain kini telah terbelenggu. Kalau kalian melanjutkan penggalian, pasti kalian akan mendapat gangguan dari mereka. Aku diutus untuk menyampaikan bahwa kalian tidak akan dibiarkan lewat, kecuali kalau membayar hak kami.’ ‘Apakah hak kalian?’ tanya sang imam. ‘Kalian mengambil seekor kerbau dan menghiasinya dengan hiasan sebaik-baiknya, kemudian mengantarnya kemari dan menyembelihnya, lalu kalian meningalkan kaki, tangan, dan kepalanya di sumur Abdussamad. Adapun selebihnya maka itu urusan kalian. Setelah semua itu dilakukan, maka penggali yang kesurupan tadi sembuh.

Ibnu al-Qayyim yang dikutip oleh Al-Sybli di atas selanjutnya berkata, “Ini sama dengan adat mereka sebelum Islam, menghiasi wanita cantik kemudian melemparnya ke Sungai Nil agar Sungan Nil melimpah. Tetapi, kebiasaan ini terhenti melalui Umar Ibnu al-Khattab. Sebenarnya kejadian seperti di atas tidak perlu terjadi jika ada orang semacam umar, burung kecil pun tidak perlu disembelih apalagi yang lebih besar.”

Kejadian seperti yang diceritakan di atas tidak berbeda dengan kejadian-kejadian yang sering kita dengar dari para penduduk pedesaan di tanah air kita. Banyak kejadian-kejadian yang aneh terhadap suatu kegiatan-kegiatan penting masyarakat, seperti membangun rumah, membuat sumur, menebang pohon besar, pindahan rumah, acara hajatan, dan kegiatan-kegitan penting lainnya. Kejadian yang aneh itu seperti misalnya, seorang yang sedang mengadakan hajatan mengalami kesurupan dan kemudian mengatakan agar membuat ini, itu untuk disimpan di suatu tempat (sesajen). Ada juga yang melalui mimpi, yaitu orang yang sedang hajatan itu bermimpi untuk membuat sesajen, dll. Kejadian-kejadian seperti itu tidak kita pungkiri bahwa hal itu memang terjadi secara nyata. Itulah sebabnya di berbagai tempat di tanah air, warga masyarakatnya sulit untuk melepas kepercayaan ini. Yang paling terkenal dari kepercayaan ini adalah seperti yang diadakan oleh pihak keraton, baik di Yogyakarta maupun di Surakarta. Setiap waktu tertentu mereka mengadakan acara sesajenan, dan sebagiannya ada yang dilemparkan ke laut, yaitu “Laut Kidul”. Mereka mengharapkan berkah dan keselamatan dari diadakannya acara tersebut. Ada juga beberapa desa di tanah Jawa yang setiap tahunnya harus mengadakan acara yang disebut “sedekah bumi”. Acara ini diadakan, menurut kepercayaan mereka, agar warga desa setempat mendapat berkah dan tidak ada gangguan di dalam bercocok tanam. Dengan diadakannya acara-acara semacam itu, akhirnya memang mereka tidak mengalami gangguan.

Apabila kejadian-kejadian tersebut di atas kita pahami dengan saksama, tentu kita akan membenarkan apa yang telah difirmankan oleh Allah SWT, “Sebagian mereka menyembah jin,” “… menjadikan jin itu sekutu bagi Allah.” Kejadian-kejadian seperti tersebut di atas adalah salah satu dari berbagai bentuk perbuatan jin terhadap umat manusia. Karena, tidak semua jin itu beriman kepada Allah, tetapi sebagian besar dari mereka adalah golongan yang musyrik dan kafir. Bagi yang memegang erat kepercayaan tersebut di atas beranggapan bahwa mereka tetap percaya kepada Allah, bukan menyembah bangsa lelembut, tetapi ketakutan mereka jika tidak mengadakan acara-acara tersebut tidak dapat dipungkiri sebagai suatu jawaban yang menyanggah pendapat mereka. Dengan demikian, sesungguhnya mereka lebih takut kepada apa yang ada di depan mata mereka dari pada takut kepada ancaman Allah kelak di akhirat, yang hal ini masih bersifat kabar, yang bagi mereka belum bisa meyakinkan dengan yakin. Inilah permasalahan mendasar yang sesungguhnya para ulama dituntut untuk mampu mencari jalan keluar, sebagaimana yang telah dilakukan Umar bin Khattab r.a. di atas. Ulama dituntut untuk mampu memecahkan permasalahan-permasalahan seperti di atas, tidak hanya berkutat pada masalah fikih dan khilafiyah.

Di samping itu, sangat populer pula di kalangan masyarakat jahiliyah kerja sama antara para penyair manusia dengan para penyair jin. Menurut kepercayaan mereka, syair-syair indah merupakan hasil kerja sama itu. Adanya kepercayaan itulah agaknya yang menjadikan Alquran menegaskan keunggulan dengan menantang manusia dan jin untuk membuat semacam Alquran.

“Katakanlah (hai Muhammad) seandainya menusia dan jin berkumpul untuk membuat semacam Alquran ini, mereka tidak akan mampu membuatnya walaupun sebagian mereka membantu sebagian yang lain.” (Al-Isra’: 88).

Jin Muslim

Seperti dikemukakan sebelum ini, ada jin yang taat kepada Allah dan ada pula yang durhaka, membangkang terhadap perintah-Nya dan mengajak kepada kedurhakaan.
Jin muslim yang taat, yang mendengar dengan tekun ayat-ayat Alquran memahami pesan-pesannya serta mengecam kaumnya yang membangkang.

Dalam surah Al-Jin, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya kami telah mendengar Quran yang menakjubkan, yang memberi petunjuk ke jalan yang benar.” Demikian ucapan mereka ketika pertama kali mendengar ayat-ayat Alquran.

“Kami sekali-kali tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan Tuhan kami.” (Al-Jin: 2–3).

Demikian jin yang beriman mengemukakan keyakinan mereka dengan murni tidak disentuh oleh kekeruhan, tidak pula bercampur dengan khurafat. Hal ini karena sebelum mengenal Alquran, mereka telah mengenal kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa a.s., sebagaimana ucapan mereka dalam ayat lain ketika menyampaikan tentang Alquran kepada kaum mereka. Mereka berkata, “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Alquran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya legi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” (Al-Ahqaaf: 30).

Mereka tahu bahwa ada di antara mereka yang durhaka, mengada-ada terhadap Allah, antara lain ada yang mengatakan bahwa terjalin hubungan antara Allah dengan jin, yang menghasilkan anak-anak berupa malaikat. Jin muslim yang taat dengan tegas membantah dengan menyatakan, “Bahwa Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami. Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak.” (Al-Jin: 3).

“Orang yang kurang akal dari jenis kami, dahulu selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah.” (Al-Jin: 4).

Mereka heran dengan pernyataan itu, karena seperti kata mereka, “Sesungguhnya kami tadinya mengira bahwa manusia dan jin sekali-kali tidak akan mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah.” (Al-Jin: 5).

Dalam ayat-ayat di atas terbaca betapa bersih hati mereka, sampai-sampai mereka tidak menduga bahwa ada manusia atau jin yang berbohong. Tetapi, begitulah kenyataan yang mereka jumpai pada manusia dan jin yang durhaka. Bahkan lebih dari itu, ada manusia yang meminta perlindungan kepada jin, atau ada jin yang merasa dapat memberi perlindungan kepada manusia. Ada beberapa orang di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa di antara jin. Maka, jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesulitan. Demikian ucapan jin lebih lanjut, sebagaimana diabadikan dalam surah Al-Jin ayat 6.

Meskipun jin muslim yang diceritakan di dalam Alquran itu adalah mereka yang beriman dengan benar, murni, tidak bercampur dengan khurafat, tidak menutup kemungkinan ada jin-jin muslim yang keislaman dan keimananya masih lemah. Hal itu sama halnya dengan manusia, yang juga diceritakan di dalam Alquran tentang orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah, tetapi di kalangan manusia ada saja yang keimanan dan keislamannya masih lemah.

Dengan demikian, antara bangsa manusia dengan bangsa jin ada kesamaan dalam beragama atau berkepercayaan. Jika manusia ada yang beragama Islam, Kristen, Hindu, Budha, kebatinan, dll, di kalangan bangsa jin juga demikian. Hal ini dapat kita lihat di dalam kenyataan sehari-hari bahwa banyak rekan-rekan dakwah kita yang menghadapi orang yang kesurupan, setelah ditanya agamanya apa, tern yata jin yang merasuk ke dalam tubuh manusia itu beragam: ada yang beragama, ada yang tidak; ada yang Islam, ada yang non-Islam.

“Sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” (Al-Jin: 11)

Apakah di antara jin ada nabi dan rasul?

Menurut jumhur ulama salaf dan khalaf, tidak ada sama sekali di antara jin yang menjadi rasul atau nabi. Inilah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Kalbi, dan Abi Ubaid.
Imam Suyuthi mengatakan, Ibn Humaid, Ibn al-mundzir, dan Ibn Abi Hatim meriwayatkan dari Mujahid tentang ayat “Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri,” kata Mujahid, tidak ada rasul pada bangsa jin. Rasul-rasul hanya ada pada manusia, sedangkan nadzdzarah (peringatan) ada pada jin. Selanjutnya, ia membaca ayat “Ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.” (Al-Ahqaf: 29).

Ibn al-Mundzir mengeluarkan riwayat dari Ibn Juraij seputar rusulum minkum (para rasul dari kalian), kata Juraij, “Utusan para rasul.” Selanjutnya ia membacakan ayat, “Mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.”

Ibn Jarir dari Adh-Dhahak meriwayatkan bahwa ia ditanya tentang jin: apakah pada mereka ada nabi yang diutus sebelum Muhammad? Adh-Dhahhak menjawab, “Apakah kamu tidak mendengar ayat Allah, ‘Wahai sekalian jin dan manusia, apakah belum datang bagimu rasul-rasul dari golongan kamu?’ Yang dimaksud ayat tersebut adalah para rasul dari golongan manusia dan para rasul dari golongan jin. Mereka menjawab, “Ya.”

Ibn Hazm berkata, “Seorang nabi tidak pernah diutus kepada golongan jin sebelum Nabi Muhammad saw. Karena, menurut ijma, beliau nabi akhir zaman. Nabi saw. mengatakan, “Seorang nabi diutus kepada kaumnya saja.” Dengan yakin kita tahu bahwa mereka (golongan jin) telah diberi peringatan. Karena itu, para nabi dari mereka mendatangi mereka, seperti dalam ayat berikut, “Apakah belum datang kepadamu utusan dari kamu?”

Imam Suyuthi mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Adh-Dhahhak ditunjukkan juga oleh apa yang diriwayatkan Ibn Juraij, Ibn Abi Hatim, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi (dalam Asy-Syu’aib) dari Ibn Abbas tentang ayat “dan seperti itu pula di bumi.” ia mengatakan, “Tujuh bumi, pada setiap bumi ada nabi seperti nabi-nabi kamu, Adam seperti Nabi Adam, Nuh seperti Nabi Nuh, Ibrahim seperti Nabi Ibrahim, dan Isa seperti Nabi Isa kamu.”

Mayoritas ulama memberikan penafsiran bahwa mereka adalah satu kaum dari golongan jin, bukan para rasul Allah, lalu mereka mendengar pembicaraan para rasul Allah yang mereka itu dari Bani Adam. Kemudian, mereka kembali ke kaumnya, dan memberikan peringatan kepada mereka.

Imam Suyuthi mengatakan, As-Subki mengatakan dalam fatwanya, “Al-Kalbi mengatakan, ‘Para rasul sebelum dibangkitkannya Muhammad diutus kepada manusia saja, sedangkan Muhammad diutus untuk golongan jin dan manusia’.”

Selanjutnya, persoalan tersebut dikatakan oleh As-Subki, “Tidak ragu lagi bahwa jin diberikan beban pada umat-umat terdahulu, sebagaimana mereka diberikan beban dalam agama ini. Beban tersebut terjadi melalui pendengaran mereka dari Rasulullah atau dari orang yang jujur mengenai hal itu. Mengenai apakah mereka dari jenis manusia atau jin tidak ada dalil yang pasti. Konteks eksplisit Alquran adalah seperti yang dikatakan oleh Adh-Dhahhak, sedangkan kebanyakan ulama memiliki pendapat yang berbeda dengan itu. Mentahqiq masalah tersebut merupakan sesuatu yang tidak ada faedahnya.

Perbezaan pendapat tentang ada atau tidak jin

Adakah eksistensi atau wujud dari sesuatu yang dinamai oleh Alquran dengan jin (atau setan)?
Imam Al-Haramain dalam kitabnya yang berjudul Asy-Syamil pernah menjelaskan, “Mayoritas ahli filsafat, orang-orang Qadariyah, dan kebanyakan kafir zindik (orang yang melahirkan keislaman tetapi batinnya kafir) sama sekali tidak mengakui adanya setan dan jin.” Selanjutnya, beliau memberikan komentar dengan ungkapanya, “Tidak apalah orang-orang yang tidak mengakui adanya jin itu orang-orang yang tidak berpegang teguh dengan syariat, yang mengherankan adalah pengingkaran kaum Qadariyah dengan melandaskan pendapatnya pada nas-nas Alquran, hadis, dan atsar.”

Abul Qasim al-Anshari dalam kitabnya yang berjudul Syarah al-Irsyad menerangkan, “Kaum Muktazilah juga mengingkari adanya jin, pengingkaran mereka ini justru menunjukkan kurangnya perhatian dan tipisnya keagamaan mereka. Sedang menurut hukum akli saja adanya jin ini tidak mustahil. Nas-nas Alquran dan hadis pun menunjukkan adanya jin. Oleh karena itu, bagi para cendekiawan yang berpegang pada syariat agama Islam pasti akan menetapkan sesuatu yang dibenarkan akal dan telah dinas oleh syara.”

Abul Qasim Abu Bakar al-Baqilani memberikan keterangan yang lebih terperinci lagi, yaitu sebagai berikut.

– Mayoritas kaum Qadariyah mengakui adanya jin pada zaman dahulu, tetapi pada zaman sekarang mereka tidak percaya.

– Sebagian dari mereka ada yang menetapkan adanya jin tetapi tidak dapat dilihat lantaran jasadnya yang halus sehingga sinar pun dapat menembusnya. Ada yang memberikan alas an sehubungan dengan tidak terlihatnya, yaitu karena jin tidak mempunyai warna atau rupa.

– Berpegang teguh pada lahirnya dalil, hadis-hadis daif, serta konsensus ulama pada masa sahabat dan tabi’in cukup dapat meyakinkan kita bahwa jin dengan setan itu benar-benar ada. Dan orang-orang yang kuat agamanya tidak akan membantah kesepakatan ulama tersebut di atas. Barang siapa mengingkari keberadaan jin setelah mengetahui dasar-dasar yang digunakan, orang yang bersangkutan perlu dicurigai keagamaannya yang berarti pula bahwa ia telah keluar dari agama, yakni murtad.

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa tidak seorang pun dari kaum muslimin dan kebanyakan dari golongan orang-orang kafir yang tidak mengakui adanya jin. Demikian juga orang-orang ahli kitab, baik Yahudi maupun Nasrani, mereka mengakui dan menetapkan bahwa jin itu benar-benar ada, yang demikian itu berita-berita para nabi a.s. telah mutawatir, menunjukkan bahwa jin itu ada hidup berakal sehat dan terkena beban baik yang berupa perintah maupun larangan.

Perlu dicatat bahwa ketika seseorang menyatakan bahwa jin adalah makhluk halus, maka kehalusan yang dimaksud tidak harus dipahami dalam arti bahwa hakikatnya demikian, tetapi penamaan itu ditinjau dari segi ketidakmampuan manusia melihatnya. Jika demikian, boleh jadi saja ia makhluk kasar, tetapi karena keterbatasan mata manusia, maka ia tidak terlihat, dan karena ia tidak terlihat, bahasa manusia menamakannya makhluk halus.

Dalam pandangan sementara ilmuwan muslim ada lima hal yang merupakan hierarki keseluruhan realitas wujud, yaitu alam naasuut (alam materi), alam malakuut (alam kejiwaan), alam jabaruut (alam roh), alam laahuut (sifat-sifat uluhiyah), dan alam haahuut (wujud zat Ilahi). Kelima ragam bentuk wujud di atas mereka sebut dengan istilah al-hadharaat al-ilahiyah al-khams (lima kehadiran Ilahi). Hanya alam pertama yang dapat dijangkau oleh manusia secara umum, dan karena itu Allah bersumpah dalam Alquran, “Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan apa yang kamu tidak lihat.” (Al-Haaqah: 38–39).

Berkaitan dengan makhluk ciptaan Allah, Alquran secara tegas menyatakan, “Dia (Allah) menciptakan apa yang kamu tidak ketahui.” (An-Nahl: 8).

Janganakan makhluk-makhluk yang menghuni seluruh alam raya, yang berada di planet bumi yang kita huni saja belum semua dapat kita ketahui, bahkan dari kita sebagaimns banyak sisinya yang sampai kini masih merupakan hal-hal yang gaib sekalipun bagi para pakar.

Ilmu pengetahuan hingga kini belum banyak mengetahui rahasia fenomena alam yang terbentang di hadapan ilmuwan, bahkan walaupun yang mereka gunakan dalam eksperimen-eksperimen mereka, misalnya listrik! Bahkan, dewasa ini banyak pakar yang percaya adanya sesuatu yang tidak dikenal atau tidak mereka ketahui.

Harian terkemuka Mesir, Al-Ahram, menulis pada tanggal 19 Mei 1999 dalam halaman pertamanya berita berikut. Dalam eksperimen ilmiah yang belum pernah dilakukan sebelumnya dan yang diikuti oleh 400.000 pengguna komputer di seluruh dunia sedang diadakan satu upaya mencari indicator-indikator yang dapat membuktikan adanya makhluk-makhluk hidup di tempat-tempat lain di alam raya ini. Eksperimen tersebut terlaksana dalam satu wadah kerja sama ilmiah Inggris dan Amerika dengan nama “Penelitian tentang Makhluk Hidup di Luar Bumi”, bertujuan menemukan peradaban makhluk-makhluk berakal di alam raya dengan menggunakan dua teleskop raksasa yang mampu menangkap signal-signal yang datang dari kejauhan sampai 200 juta tahun cahaya. Karena signal yang ditangkap oleh kedua teleskop tersebut sangat banyak, para peneliti mengundang semua pemilik komputer yang berminat untuk menghubungi pusat komputer yang melakukan studi ini untuk membantu melakukan analisis terhadap informasi yang mereka terima. Sampai sejauh ini, kami belum menerima laporan terbaru dari eksperimen tersebut.

Merupakan satu keangkuhan intelektual, menolak atas nama ilmu pengetahuan, wujud sesuatu yang diinformasikan oleh kitab suci dengan alasan bahwa dunia empiris tidak menyaksikannya atau laboratorium tidak mendeteksinya. Kebenaran tidak diukur di laboratorium, atau dibuktikan melalui eksperimen. Banyak informasi dari kitab suci yang dahulunya oleh para ilmuwan dianggap atau ditafsirkan secara metaphor, tetapi kini ternyata benar dan tidak perlu dipahami secara metaphor.

Di sisi lain, kepercayaan dan agama bersumber dari rasa manusia yang terdalam. Perasaan tidak diukur dengan ukuran material atau harus dihidangkan dalam dunia nyata. Para ilmuwanlah yang terlebih dahulu menertawakan, bahkan mengecam siapa yang menggunakan alat ukur yang tidak sesuai dengan objek yang akan diukur. Anda keliru jika menggunakan timbangan untuk mengukur panjang dan luas ruangan.

Ada banyak hal yang tidak diinformasikan agama, boleh jadi karena tidak perlu diketahui manusia, boleh jagi juga karena bila dijelaskan tidak akan dicerna oleh pikirannya. “Mereka bertanya tentang roh. Katakanlah, ‘Roh adalah sebagian dari urusan Tuhanku.’ Kalian tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit.” (Al-Isra: 85).

Meskipun telah dicapai kemajuan dalam bidang psikologi, yang belum terungkap dari jiwa manusia masih jauh lebih banyak. Ini terhadap manusia yang wujudnya terlihat dan terukur, dapat diraba dan dibawa ke laboratorium untuk diuji dan dianalisis. Bagaimana dengan sesuatu yang sejak semula dinyatakan jin, yakni sesuatu yang tersembunyi dan yang tidak dapat dilihat oleh manusia? Sekali lagi jangan tergesa-gesa menolaknya. Memang ada informasi dari kitab suci yang belum terbukti. Ada juga yang sebelum ini tidak dapat dibuktikan oleh generasi lalu, tetapi kini telah terbukti. Sekali lagi, merupakan kekeliruan intelektual menolak informasi yang belum terbukti itu selama belum dapat dibuktikan kekeliruannya dengan alat ukur yang sesuai.

Sumber:

1. Gharaaib wa ‘Ajaaibul Jin Kamaa Yushawwiruhal Qur’an was-Sunnah, Syekh Badruddin bin Abdullah asy-Syibli

2. Yang Tersembunyi: Jin Iblis, Setan, & Malaikat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa kini, M. Quraish Shihab

3.  Luqath al-Marjan fi al-Ahkam al-Jan, Imam Jalaluddin as-Suyuthi